CERPEN



TETES   EMBUN   TERAKHIR
(Imanti)

Senandung lirih pecinta pagi sayup-sayup menggema memekakan telinga. Jejak langkah malaikat penyelamat  lamat-lamat terdengar dari kejauhan. Dendang riang sekelompok burung gereja tak mau ketinggalan, sahut menyahut memenuhi udara. Melodi pagi ini sangat menakjubkan, kolaborasi yang indah membentuk irama yang merdu memberikan sensasi luar biasa untuk setiap insan yang mendengarnya.
Pagi adalah waktu yang selalu ku nanti, aku selalu berharap agar aku bisa senantiasa bertemu dengan pagi, entah pagi ini atau pagi-pagi setelah ini. Pagi selalu berhasil menawarkan sejuta harapan dan semangat baru dalam hidupku. Pagi selalu bisa mentransfer energi positif ketika aku mulai putus asa. Aku selalu berusaha untuk menikmati panorama pagi, menatap siluet-siluet pecinta pagi. Aku adalah salah satu dari milyaran manusia di muka bumi ini yang selalu menunggu pagi, menyambut senyum mentari, dan mengharap hangat peluk matahari.
Namaku “Sebening Embun Pagi”. Kedengarnnya sedikit aneh bukan? Aku mulai melihat dunia ini ketika mentari muncul dari singgasananya. Ketika hangat sang surya mulai melelehkan butiran-butiran embun yang bening. Kebetulan ayahku adalah seorang guru Bahasa Indonesia, supaya mudah diingat maka ayah memberiku nama “Sebening Embun Pagi”. Kata ayah, namaku ini juga merupakan salah satu judul lagu favoritnya ketika ayah masih muda. Apapun alasan orang tuaku memberikanku nama berupa deretan huruf yang menempel pada jasadku ini, nama ini benar-benar membuatku setia untuk selalu menunggu pagi. Aku  adalah remaja 14 tahun yang biasa, sama seperti remaja-remaja kebanyakan. Aku suka bermain, bergaul, belajar apapun, membaca, sekolah. Aku memiliki keluarga yang utuh, dan yang pasti aku memiliki cita-cita tinggi, sama seperti remaja yang lain.
“Embun, kamu sudah bangun belum Nak? Sudah siang ini, kenapa kamu masih anteng di kamarmu? Kamu baik-baik saja kan Nak?” Tanya Ibu sambil mengetuk pintu kamarku, yang sontak juga membuyarkan lamunanku di pagi ini.
“Iya Bu, Embun sudah bangun, Embun sedang melihat pemandangan pagi ini saja Bu, kebetulan sekalian membuka jendela kamar”, Jawabku sambil bergegas menyiapkan perlengkapan sekolahku.
“Cepat keluar Nak, adik dan ayahmu sudah menunggu di ruang makan tidak sabar ingin melahap nasi goreng spesial buatan ibu, jangan kau menunda waktu!” Perintah Ibu mengingatkanku agar aku bergerak sedikit lebih cepat.
Aku meloncat secepat kilat agar bisa bergabung dengan ayah, ibu dan adiku, aku tidak ingin jatah sarapanku diambil oleh adiku.
Walaupun keluargaku hanyalah keluarga yang pas-pasan, namun kami tidak pernah melewatkan waktu untuk sarapan bersama. Bagi kami sarapan pagi adalah waktu yang tepat untuk berkumpul, kami mengobrol, membicarakan banyak hal, bercerita, dan tidak jarang ayah memberikan nasehat-nasehat dan kalimat-kalimat saktinya saat sarapan pagi. Dan sarapan pagi kami selalu istimewa, tidak pernah membosankan, tidak pernah sedikitpun terpikir olehku untuk melewatkan moment di pagi hari. Buatku sendiri, sarapan adalah caraku untuk merecharge semangatku agar kembali penuh. Tentu saja selain aku harus menelan butiran warna-warni setiap harinya demi bisa menyambut pagi.
Ayahku bekerja sebagai Guru Honorer di sebuah sekolah di kota tempat kami tinggal. Penghasilan ayah sangat minim untuk mencukupi kebutuhan harian keluarga kami. Apalagi untuk biaya sekolahku dan Senja, adiku. Hal itu mengharuskan ibu memutar otak untuk membantu ayah mendapatkan uang tambahan. Untungnya Ibu memiliki tangan yang ajaib. Bahan mentah apapun selalu berhasil ibu sulap menjadi masakan yang luar biasa lezat dan membuat lidah-lidah pencicipnya selalu ingin mencobanya lagi dan lagi. Dengan keahlian Ibu terebut, setiap sore atau malam hari, ibu membuat berbagai macam jenis kue yang kemudian akan dijajakannya pada pagi harinya. Ibu menitipkan kue-kue buatannya ke warung-warung sekitar rumah. Tak jarang ibu menerima pesanan kue untuk acara hajatan tetangga.
Tuhan Maha Adil, Tuhan di atas segalanya. KalkulasiNya  selalu tepat. Ilmu matematikaNya sudah tingkat tinggi. Tidak seperti ilmu berhitung dan aljabar yang selama ini kita pelajari, dimana 1 + 1 = 2. Seperti nasehat ayah yang selalu aku ingat bahwa “ketika kita bekerja dengan hati, kita ikhlas melakukan suatu pekerjaan dan total atas pekerjaan yang kita lakukan, maka hasilnya akan barokah, rejeki akan mengikuti kita asal kita mau berusaha. Tuhan membuka setiap pintu rejeki manapun bagi hambaNya yang ikhlas dan bekerja keras”.
“Kak Embun, melamun aja kerjaannya, kakak ini kenapa sih, nggak lagi kesurupan kan kak?” Tanya Senja yang untuk kedua kalinya berhasil membuyarkan lamunanku di pagi ini. Aku hanya menjawab dengan ber-ah-oh ria, pura-pura paham dengan apa yang dikatakan Senja.
“Kak Embun, kata Ibu hari ini sampai kakak selesai Ujian Nasional, kakak bebas tugas. Kakak tidak perlu repot-repot menemaniku mengantarkan kue. Kak Embun kan harus tetap jaga stamina biar tetap oke dan rosa-rosa!” Senja kembali meneruskan kalimatnya sambil menirukan adegan almarhum Mbah Marijan ketika membintangi sebuah iklan suplemen makanan.
“Dasar bawel, lihat ini, kakak ini sehat, kuat dan selalu rosa-rosa. Jangankan untuk menghadapi ujian nasional, bahkan untuk keliling menjajakan kue-kue Ibu-pun kakak masih kuat. Jangan kau remehkan kekuatan kakakmu ini, bawel!” jawabku menirukan gaya bicara Senja.
“Senandung Senja” adalah adik perempuanku satu-satunya. Aku dan Senja adalah pasangan kakak-adik yang kompak tiada tara, walaupun terkadang kami berantem, saling menjahili, namun kami tetap tak terpisahkan, selalu tidak lengkap kalau sehari belum berantem dengan Senja. Ya, seperti pagi ini.
“Sudah-sudah jangan bertengkar. Pusing ayah melihat polah kalian yang ribut terus. Kalian ini tak ada bedanya dengan kucing dan tikus, berantem terus. Cepat habiskan sarapannya, jangan sampai ada yang tersisa. Hari ini “nasi goreng special pakai cinta” buatan Ibu sungguh istimewa. Jangankan mau menyisakannya, rasa-rasanya Ayah ingin menghabiskan sekalian piring dan sendoknya.” ayah selalu berhasil melerai pertikaianku dan Senja.
“Siap Komandan!” jawan Senja sambil berandai-andai menjadi seorang Polwan.
“Fiuuh, mau-maunya kau ini Senja, disamakan dengan kucing dan tikus. Kalau kakak sih ogah, kakak adalah anak ayah yang paling manis, masak sama dengan tikus atau kucing?” aku kembali menggoda Senja.
“Embuuuuuun, jangan kau goda adikmu, segera habiskan nasi gorengmu atau kau akan menyesal kalau jatahmu akan dihabiskan oleh Senja dan Ayah.” Ibu mencoba menghentikan godaanku.
“Jangan lupa vitaminnya kau minum Embun, jangan sampai ada yang ketinggalan”, suara ayah lirih, namun cukup terdengar di ruangan 3 x 4 meter ini.
“Iya Ayah, mana mungkin Embun lupa akan hal sepenting ini. Embun kan masih ingin bertemu dengan pagi-pagi selanjutnya. Ayah bahkan sudah seperti alarm yang tidak pernah telat mengingatkan Embun untuk minum vitamin berwarna-warni ini, kapanpun dan dimanapun Embun berada, hahahaa.” Jawabku berusaha membuat ayah tersenyum.
Vitamin adalah istilah khusus yang digunakan keluarga kami sebagai pengganti untuk menyebut nama benda kecil bernama “obat”, yang sejak beberapa bulan terakhir menjadi sahabat baruku. Beberapa bulan yang lalu, aku dan ayahku pergi ke Rumah Sakit untuk mengambil hasil Lab-ku. Saat itu pula  Dokter memvonisku positif mengidap penyakit Ataxia Spinocerebellar.
Bagi sebagian orang, Ataxia Spinocerebellar adalah penyakit yang langka dan aneh. Aku sendiri awalnya bingung dengan penyakitku ini. Dokter bilang kalau penyakit ini bukan disebabkan karena virus, namun penyakit ini bisa menyerang siapa saja. Ataxia Spinocerebellar adalah penyakit hilangnya keseimbangan seseorang yang diakibatkan tidak berfungsinya jaringan syaraf motorik. Bisa kalian bayangkan, seorang remaja 14 tahun harus kehilangan fungsi syaraf motoriknya? Awalnya aku tidak merasakan keanehan dalam tubuhku. Aku masih merasa normal, sama seperti remaja lainnya. Kejadian bermula ketika aku yang tiba-tiba terjatuh ketika sedang mengikuti upacara bendera rutin setiap hari Senin. Aku jatuh, tapi aku tidak pingsan. Aku masih seratus persen sadar. Aku juga semakin sering terjatuh ketika aku berjalan. Langkahku tiba-tiba terhenti dan bruuuug, jatuh tanpa alasan. Setiap kali aku membantu Ibu berkeliling menjajakan kue dengan mengayuh sepeda mini pemberian ayah, tiba-tiba aku oleng dan terjatuh bersama dengan sepedaku. Bukan karena menabrak sesuatu atau menghindari sesuatu. Aku terjatuh tanpa alasan. Aku tidak pernah melaporkan hal ini kepada ayah dan ibuku, karena aku tidak merasa sakit dan aku tak ingin membuat merek khawatir. Aku hanya sedikit bercerita dengan Senja, itupun karena satu-dua kali Senja melihatku terjatuh.
Hingga pada suatu hari, ketika sarapan pagi menjadi rutinitas wajib kami, aku merasakan keanehan terjadi dalam tubuhku. Aku tak mampu menggapai sendok yang hanya berjarak beberapa sentimeter di hadapanku. Berkali-kali aku mencoba meraih sendok itu, berkali itu pula aku gagal, tangan dan badanku semakin sulit untuk digerakan. Aku ingin bergerak, tapi tidak bisa. Kejadian itu dilihat oleh ayah, ibu dan Senja.  Aku tak bisa menutupi keadaan tubuhku yang semakin payah ini dari mereka. Ayah kemudian memutuskan untuk membawaku ke dokter hari itu juga.
Sejak vonis mengerikan itu ditetapkan, aku menjadi lunglai, semakin hari langkahku semakin gontai. Rasa-rasanya aku hanya menunggu waktu dimana aku akan dibawa ke tempat yang jauh di sana. Rasa-rasanya aku ingin segera menemui Tuhan, merasakan hangat pelukNya, daripada aku harus melihat kesedihan keluarga kecilku.  Dengan keadaan ekonomi keluarga yang pas-pasan, masalah Ataxia Spinocerebellar ini juga akan mempersulit kehidupan keluargaku.
Bukan Ibu dan Ayah kalau gampang menyerah. Mereka bukan hanya my superhero, mereka rela berbuat lebih, bekerja lebih keras demi menebus butiran-butiran warna-warni itu. Demi menyambung hidupku. Bahkan, Senja yang masih berusia 9 tahun, rela menyisakan uang jajannya, membantu ibu dan ayah bekerja keras demi masih ingin melihat tetesan embun pagi.
Semangat dari keluargaku mengalir bersama laju darahku. Maka, demi keluargaku, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan menghadapi kenyataan ini. Aku masih ingin memanfaatkan sisa hidupku, aku akan menyelesaikan semua tugas-tugasku. Aku tahu, Tuhan terlalu menyayangiku, Tuhan tahu aku terlalu kuat, maka Tuhan memberikan PR ini untuk aku selesaikan dengan baik. Aku akan menjalani sisa usiaku dengan bersahabat dengan Ataxia Spinocerebellar. Kabar buruk bahwa sahabat baruku ini akan menyerang otak dan mengganggu kinerja syaraf motorikku, namun kabar baiknya kecerdasanku tidak terganggu. Aku akan tetap bisa mengingat, menghafal, bahkan menemukan ide-ide cemerlang dengan kecerdasan yang aku miliki.
Setelah semangat hidupku kembali penuh, aku lebih banyak mengisi hariku dengan banyak belajar, membaca buku lebih banyak sehingga aku akan mendapatkan ilmu lebih banyak. Aku akan membuktikan kepada semua orang bahwa aku akan baik-baik saja berteman dengan Ataxia Spinocerebellar. Aku ingin lulus UjianNasional dengan menyunggi nilai yang sangat memuaskan. Aku akan melanjutkan menimba ilmu di SMA Unggulan, aku harus menjadi orang yang sukses. Itu janjiku, janji seorang remaja 14 taun yang mengidap penyakit mematikan Ataxia Spinocerebellar.
“Embun, ada apa dengan kau Nak, melamun terus pekerjaan kau. Orang sukses tidak suka melamun. Lekas kau telan vitamin kau itu, jangan hanya kau tatap dan kau pelototin. Bisa-bisa vitamin-vitamin berwarna kau itu hancur berkeping-keping karena tertusuk tajamnya tatapan matamu itu.” Goda ayah yang sekaligus menghentikan lamunanku untuk ketiga kalinya.
“Ayo bergegas Kak, nanti aku bisa telat dan dihukum Pak Guru kalau kakak lelet begini, buruan Kak Embun!” Rengek Senja yang sepertinya mulai resah dan gelisah menungguku menelan seluruh vitamin itu.
Hari ini tepat tujuh hari sebelum aku menghadapi perang besar. Perang menghadapi soal-soal Ujian Nasional. Maka dari itu Ibu memberikan dispensasi untukku agar aku cuti dari pekerjaan mengantar kue. Dan lebih serunya, Ayah yang biasanya enggan memberikan tumpangan kepadaku dan Senja, selama aku Ujian Nasional ayah akan dengan senang hati memboncengkanku dan Senja sampai ke sekolah.
Walaupun aku sakit, bukan berarti aku menjadi pemalas dan manja. Aku tetap membantu Ibu mengantar kue, aku tetap berangkat ke sekolah bersama Senja dengan angkutan umum, aku tetap membantu ibu membuat adonan kue-kue. Aku tetap belajar keras demi hasil Ujian Nasional yang memuaskan.
Tidak sedikit teman, tetangga dan saudara-saudaraku yang meragukan kemampuanku. Mereka hanya memandang sebelah mata dengan seorang Embun yang penyakitan. Tidak sedikit pula orang-orang yang mencibirku, mengolok-olokku ketika mereka melihat aku yang tiba-tiba terjatuh, menyorakiku yang melihat tiba-tiba gerakanku terhenti. Mencemoohku ketika aku tidak pernah ikut pelajaran olahraga. Semua itu sudah menjadi makanan sehari-hariku. Aku tetap menyantapnya dengan lahap, bahkan semua itu justru menjadi motivasi agar aku bisa lebih dari mereka.
Hingga hari itu tiba, Ujian Nasional tiba. Selama 4 hari aku berusaha mati-matian melawan rasa sakitku. Semua badanku terasa nyeri, ngilu, dan pusing. Aku membiarkan rasa itu datang dan pergi. Seperti jalangkung, datang tak diundang, pulang tak diantar. Orang tua dan  Bapak/Ibu guru juga memberikan alternatif supaya aku mengikuti Ujian Nasional di rumah dengan pengawas khusus yang telah disipakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten setempat. Namun aku menolak, aku bersikukuh bahwa aku masih kuat.  Apa boleh buat, mereka mengijinkanku untuk mengikuti Ujian Nasional di sekolah. Walaupun setengah mati aku menahan sakit, namun aku tetap belajar sekuat yang aku bisa. Aku mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh guru, membuka tumpukan materi dan catatan, meriview kembali apa yang selama ini aku pelajari. Ayah rela menebus “vitamin ekstra” agar staminaku tetap terjaga. Senja rela berangkat sekolah sendirian naik angkot demi ingin membuatku merasa nyaman membonceng bebek tua milik ayah tanpa harus berbagi tempat dengannya.
Empat hari berlalu.Ujian Nasional selesai. Waktu yang ku pikir berjalan lambat, ternyata melesat cepat bagai kilat. Sambil menunggu hasil Ujian Nasional, aku menyibukan diri untuk membantu Ibu. Aku tahu bahwa ketika aku masuk ke SMA nanti, pasti tidak sedikit uang yang akan dikeluarkan Ayah dan Ibu. Aku mencoba mengirimkan beberapa tulisanku ke majalah-majalah, surat kabar, tabloid, apapun itu. Setiap kali dimuat, maka aku akan mendapatkan honor dari hasil menulis. Lumayan, bisa aku tabung untuk tambahan masuk ke SMA.  Ayahku menambah pekerjaan sampingan, pagi sampai siang hari mengajar disekolah, siang sampai sore hari narik ojeg dengan bebek tuanya, nanti selepas magrib sampai jam sembilan malam ayah menerima murid-murid Sekolah Dasar yang ingin les atau belajar.
             Sedangkan Ibu mencoba peruntungan membuat kue kering untuk dipasarkan ke toko-toko atau swalayan sekitar. Semua hasil dikumpulkan untuk tabungan masuk SMA dan untuk menebus vitamin warna-warniku. Nikmat Tuhan memang tak pernah berbatas. Penyakitku juga jarang sekali kambuh, aku jarang terjatuh, aktifitasku juga berjalan (hampir) tanpa hambatan sampai pengumuman hasil Ujian Nasional itu tiba.
Aku sibuk mematutkan diri di depan cermin laksana seorang ratu kencatikan. Serong ke kanan serong ke kiri, membenarkan polesan make-up hasil riasan Ibu, sibuk membenarkan posisi kebaya. Repot sekali pagi ini.
“Embun, ayo cepat, jangan sampai kau terlambat hanya karena dandananmu yang terlalu menor, atau kebaya buatan ibumu yang kedodoran! Ibu dan juga Senja sudah lebih dulu siap” Teriak ayah menyuruhku untuk begegas.
Tanpa banyak komentar aku berlari kecil bergabung dengan Senja, Ayah, dan Ibu. Aku tak mau ketinggalan. Pagi ini adalah hari pengumuman Ujian Nasional, semua Siswa wajib mengenakan busana adat dan berhak datang ke sekolah dengan membawa keluarga mereka. Ayah sengaja menyarter sebuah angkot agar kami sekeluarga bisa pergi bersama, tidak mungkin juga kalau aku berkebaya harus memboceng bebek tua ayah, apalagi membonceng bersama Ibu dan Senja.
Acara demi acara telah dilewati, sambutan-sambutan dari Kepala Sekolah hingga Komite sekolah juga telah selesai. Selingan tari-tarian dan paduan suara ramai mengisi gedung aula. Saatnya pengumuman kelulusan. Kepala Sekolah kembali berdiri di mimbar di atas panggung, membacakan pengumuman, jantungku berdegup kencang, keringat dingin mengalir di sela-sela kulitku. Nyeri mulai menyerang tubuhku, tapi aku tak peduli, aku berpikir bahwa ini hanyalah efek tegang menyambut pengumuman. Aku tetap berkonsentrasi penuh dengan pengumuman yang dibacakan oleh Kepala Sekolah. Seketika tubuhku melemas saat mendengar suara Kepala Sekolah “Selamat kepada ananda Sebening Embun Pagi yang telah berhasil meraih peringkat pertama Ujian Nasional tahun ini dengan nilai yang nyaris sempurna, karena prestasi tersebut ananda Sebening Embun Pagi juga berhak mendapatkan undangan untuk masuk ke SMA Unggulan tanpa biaya apapun, dimohon ananda beserta orang tua naik ke atas panggung.” Suara riuh gemuruh tepuk tangan hadirin memberikan suntikan semangat untuku. Aku menahan ngilu yang menghujam seluruh tubuhku. Dengan langkah gontai aku menuju panggung bersama ayah yang anggun menggandeng tanganku. Kepala sekolah beserta dewan guru memberikan penghargaan untukku. Luar biasa, rasa bahagia, haru, sedih, bangga, bercampur menyelimuti hatiku. Aku diberikan kesempatan untuk memberikan kata sambutan kepada seluruh hadirin.
Sambil menggigit bibirku aku menahan kesakitanku. Peluh ditubuhku semakin deras mengucur. Namun aku bertahan.

“Terimakasih kepada Tuhan atas semua nikmatNya, untuk setiap hambus nafas yang diberikan kepada saya, untuk kesempatan yang selalu DIA berikan kepada saya, agar saya bisaselalu setia menyambut pagi. Seperti nama yang melekat dalam tubuh saya, nama pemberian ayah dan ibu, saya ingin menjadi seperti embun pagi yang bening, murni, membahagiakan keluarga dan menjadi kebanggaan mereka. Terimakasih untuk ayah dan ibu, karena telah berhasil mendidik saya menjadi pribadi yang kuat, tangguh menghadapi semua cobaan. Saya tahu ini berat untuk Ayah dan Ibu, ketika dokter menjatuhkan vonis bahwa saya mengidap penyakit Ataxia Spinocerebellar. Bukan hanya harus berkorban seluruh jiwa dan raga, namun kalian juga harus lebih mengencangkan ikat pinggang demi ingin tetap melihat Embun Pagi. Terima kasih untuk kalian semua, untuk setiap cemoohan, ejekan, dan makian yang selama ini saya terima, karena itu semua justru menjadi cambuk bagi saya untuk lebih bekerja keras, dan akhirnya saya bisa berdiri di tempat ini sebagai bukti untuk kalian semua, bahwa Embun Pagi, seorang remaja dari keluarga pas-pasan yang mengidap  Ataxia Spinocerebellar, penyakit langka yang mematikan bisa mendapatkan nilai tertinggi Ujian Nasional tahun ini, bahkan bisa langsung diterima di SMA Unggulan. Ini adalah bukti kekuasanNya, dimana hamba yang berusaha dan berdoa, maka Tuhan akan mengabulkan setiap doanya. Hamba yang ingin hasil yang lebih, juga harus mau bekerja lebih keras. Terimakasih untuk semua doa, support, dan bimbingannya selama ini.” Itulah sambutanku yang sekaligus menjadi kalimatku yang terakhir. Aku masih ingin berbicara, namun aku sudah tak bisa bersuara. Aku masih ingin menahan rasa nyeri dan ngilu di sekujur tubuhku, namun aku tak kuat lagi, dan akhirnya aku terjatuh, tapi kali ini aku pingsan, aku tak sadarkan diri.
Ayah memeluku erat, Ibu menangis histeris, semua hadirin juga ikut panik, menatap nanar kejadian yang mereka lihat. Mengharu biru, tangisan mulai terdengar di setiap sudut aula. Beberapa guru berlarian mencari ambulance untuk melarikanku ke Rumah Sakit,  namun semua terlambat.
Esok hari, tak akan ada lagi Embun yang setia menunggu pagi. Tak aka nada lagi tetesan embun yang bening di pagi hari. Embun telah pergi, namun prestasi dan segala kebaikan yang ia ukir akan tetap abadi. Embun masih tetap setia menunggu pagi, namun kali ini ia menunggu di tempat yang berbeda.

                                                                                                                        imanti_omahpinggirratan
EmpatbelasMaretDuaribulimabelas_16.53wib


Komentar

Postingan Populer